Tags

, , , , , , ,


vonis 1 tahun 6 bulan dan denda Rp100juta dijatuhkan kepada Sdr. AIS dan 1 tahun dan denda Rp100juta yang dijatuhkan kepada ES merupakan bentuk ketidakadilan yang terjadi di negara kita. apakah ini bentuk pembelaan kepada kedua terdakwa? mari kita telusuri dari proses perjalanan dokumen hingga muncul kasus ini.

ES yang merupakan petugas Front Office (FO) di KPPN Jakarta menerima Surat Perintah Membayar (SPM) dari Kementerian Pekerjaan Umum bernomor 00155/440372/XI/2008 tanggal 19 November 2008 sebesar Rp9,95 miliar. setelah dilakukan verifikasi administrasi maka SPM diteruskan untuk proses penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). AIS yang berstatus kepala seksi kemudian menerbitkan SP2D bernomor 928710J tertanggal 21 November 2008  sebesar Rp8.824.221.000,00 (setelah dipotong pajak) atas nama PT. CSC, yang belakangan diketahui fiktif.

Sesuai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menteri teknis sebagai Pengguna Anggaran (PA), dan semua satuan kerja (satker) jajarannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), memiliki kewenangan sebagai Otorisator dan sekaligus sebagai Ordonatur bagi anggarannya masing-masing. Menteri Keuangan, beserta jajarannya, menurut kedua undang-undang ini hanya memiliki kewenangan Comptabel (Bendahara Umum Negara).

Otorisator diartikan sebagai perorangan/lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan adanya pengeluaran dan/atau penerimaan negara, sedangkan Ordonatur diartikan sebagai pihak yang berwenang melakukan pengujian atas tindakan yang dilakukan oleh Otorisator dan memerintahkan pembayaran kepada comptabel.

jadi SPM yang diajukan oleh kementerian teknis sudah seharusnya melalui pengujian dan verifikasi oleh PA dan KPA pada masing-masing satker. menurut Prof. Dr. Muhsan, S.H. “menteri teknis merupakan lastgevers (pemberi mandat/perintah) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Menteri Keuangan yang merupakan lasthebbers (penerima mandat/perintah).” sehingga semua perintah menteri teknis beserta jajarannya dalam hal pengeluaran negara yang diwujudkan dalam bentuk surat perintah membayar (SPM), harus dilaksanakan pencairan dananya.

hal ini dilakukan karena semua tanggungjawab terhadap keputusan yang dilakukan merupakan tanggungjawab kementerian teknis/satker yang bersangkutan. pihak Kementerian Keuangan melakukan pengujian hanya sebatas pengujian administratif dan bersifat pengulangan (rechek), bukan bersifat pengujian materiil (substantif).

Drs. Siswo Sujanto, DEA yang hadir sebagai saksi ahli dalam kasus ini menjelaskan bahwa pembagian kewenangan tersebut (Otorisator, Ordonator, dan Comptabel) didasarkan pada prinsip let’s the manager manage. prinsip tersebut pada hakekatnya menyatakan anggaran yang dianggarkan untuk membiayai kegiatan kementerian teknis, setelah disetujui oleh DPR, dilaksanakan sendiri oleh menteri teknis yang bersangkutan, dan konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan pula oleh menteri teknis.

menurut ketentuan yang berlaku, penerbit SPM di satker kementerian teknis, sudah seharusnya melakukan pengujian dan verifikasi materiil sebelum diserahkan kepada Kementerian Keuangan, dalam hal ini KPPN. sementara pada kasus ini, penandatangan SPM dan PT CSC (pihak ketiga) sama sekali tidak ikut “terseret” dalam persidangan. padahal merekalah yang seharusnya dimintai keterangan mengingat tanggung jawab kegiatan ada di pihak kementerian teknis, sedangkan Kementerian Keuangan hanya bertindak sebagai juru bayar.

masih beranggapan ini sebuah pembelaan??